Latest News

Showing posts with label Renungan Cerdas. Show all posts
Showing posts with label Renungan Cerdas. Show all posts

Thursday, January 24, 2019

Romo Yans Sulo: Berguru kebajikan dan kebijaksanaan dari seorang Jokowi


Romo Yans Sulo:
Berguru kebajikan dan kebijaksanaan dari seorang Jokowi
=Remah-remah dari 'cielito lindo' (surga kecil) Makale=
(Jokowidodo, manusia langka yang dilahirkan di Asia)

Para sahabat, Anda jangan memberiku predikat "kampanye" ketika aku menyorot nama presiden Republik Indonesia (Jokowidodo), Karena mamang aku sedang tidak untuk kampanye. Tetapi aku hanya ingin belajar daripadanya bagaimana hidup bersama. Bukan belajar membangun puluhan ribu kilo meter jalan raya dari Sabang sampai Merauke. Bukan pula belajar membangun bandara dan sumber energy. Bukan belajar bagaimana menjadikan bangsa ini pemilik tambang emas di Papua yang berpuluh-puluh tahun dibungkus oleh bangsa asing dengan nama tambang "tembaga". Bukan belajar bagaimana menyamakan harga bensin yang sama dari Sabang sampai Merauke. Bukan pula belajar bagaimana membangun rel kereta api dan atau membangun bendungan dan pasar tradisional yang membantu rakyat negeri ini merai kesejahteraannya.
Aku hanya ingin berguru kebajikan daripadanya. Iya, berguru kebajikan dan kebijaksanaan dari seorang manusia langka yang terlahir di negeri ini.
Aku ingin belajar melihat manusia sebagai mahluk yang luhur dan mulia.
Aku ingin belajar memberikan hak kepada yang memiliki hak dan belajar menuntut kewajiban bagi mereka yang memiliki kewajiban.
Aku ingin belajar bagaimana keluar dari zona aman, dengan menjadikan diri sebagai rahmat bagi sesama.
Belajar menahan godaan nafsu kekayaan di tengah zaman keserakahan.
Belajar ugahari di tengah negeri yang berlimpah susu dan madunya.
Serta aku ingin belajar bagaimana menjadi manusia yang beriman, jujur, bersih, rendah hati, dan kesatria, sebagaimana yang diajarkan oleh leluhur kami manusia Toraja sendiri: "Lobo'ko ammu kasalle, manarangko ammu kinaya, bidako ammu barani. Langngan-langngan oi sangbara'mu membulean pole' oko. Ammu tang disirantean, tenko to pasareongan".

Jokowi, sebuah nama yang lagi menjadi perbincangan seantero dunia. Nama yang seolah-olah mengakar dalam kedamaian di hati rakyat negeri ini. Nama yang tidak angker dan sekeramat nama-nama para penguasa yang lain di muka bumi, namun karya-karyanya mewarnai seluruh sudut nusantara. Namun aku tidak ingin berguru soal nama, pun pula tidak soal karya-karyanya. Tetapi aku ingin berguru daripadanya soal kebajikan dan kebijaksanaannya.
Ia dicacimaki namun tidak merasa sakit.
Dihina namun tidak merasa hina dan marah.  Difitnah namun tetap tersenyum.
Direndahkan namun semakin bersinar bagaikan bintang kejora.
Di"kafir"kan namun semakin beriman.
Dibenci namun semakin dicintai.

Aku sungguh-sungguh kagum kepadanya. Dalam hati aku bertanya, mahaguru seperti apakah yang telah mendidiknya bisa "hadir" seolah-olah seorang nabi.
Aku sungguh-sungguh kagum kepadanya. Dan sekali lagi dalam hati bertanya,  rahim seperti apakah yang telah mengandungnya sehingga dia bisa "lahir" bagaikan manusia ajaib, yang sanggup membalas cacian dengan pujian, membalas hinaan dengan doa sucinya, membalas fitnahan dengan canda tawanya.
Sungguh,  aku sungguh-sungguh kagum kepada pribadinya yang agung dalam kesederhanaan. Dia yang tidak larut dalam pujian ketika disanjung, dan tetap tegar penuh semangat bekerja ketika direndahkan. Kagum kepadanya bagaimana ia memilah dan memilih para menterinya yang sungguh-sungguh memiliki hati untuk bangsa ini, dan tidak segan-segan memecat para pecundang bangsanya saat mulai menunjukkan tanda-tanda tidak becus dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

Aku lalu berpikir, mungkinkah sosok seperti dia itukah yang disebut sebagai manusia yang sungguh selesai dengan persoalan dirinya, yang tidak lagi berfikir tentang dirinya ketika orang justru ramai-ramai mendiskreditkannya?
Mungkinkah sosok seperti dia itukah yang disebut sebagai manusia yang tidak sibuk dengan pujian dan hinaan karena di benaknya hanya ada pengabdian diri yang total?
Mungkinkah sosok seperti dia itukah yang disebut sebagai manusia bijak nan arif yang tidak pusing dengan segala label negatif yang dituduhkan atasnya?
Aku pun lalu berfikir, apakah orang-orang yang menghina dan membenci orang bersih yang setulus dan sesuci dia ini tidak akan terlempar ke tubir lembah kekwalatan dan kedurhakaan seperti "keyakinan kuno"  agama-agama suku di negeri ini sebelum agama-agama dari luar sana hadir di nusantara?

"Tuan presiden" (izinkan aku menyapa bapak dengan sapaan "tuan presiden"), tolong ajarkan kepadaku rahasia di balik "keunikan" pribadimu yang penuh misteri itu.
Ajarkanlah kepadaku rahasia tersenyum penuh keramahan ketika difitnah dan dihina. Ajarkanlah rahasia mendoakan ketika dicacimaki.
Ajarkanlah kepadaku rahasia mengampuni ketika disakiti.
Ajarkanlah kepadaku rahasia mencintai ketika dibenci.
Ajarkanlah kepadaku rahasia memuji ketika dicela.
Ajarkanlah kepadaku rahasia memikirkan orang lain ketika orang lain sibuk memikirkan dirinya sendiri.
Ajarkanlah kepadaku mencipta hati dan budi yang suci walau diteriaki peka-i.
Ajarkanlah k epadaku bagaimana b erdoa siang dan malam untuk bangsa ini dan bagi mereka yang hendak menjadikannya negeri sapi perahan.
Ajarkanlah kepadaku untuk mengambil rupa rakyat biasa ketika jabatan penting berada di pundakku. Karena engkau yang walaupun orang nomor satu di negeri ini rela mengambil rupa dan hidup seperti kami rakyatmu. Duduk, makan,  dan tidur di bawah tenda darurat. Engkau sungguh-sungguh berhati mulia dalam kesahajaanmu. Engkau yang yang tidak pernah memikirkan kejahatan dan kehancuran bangsa ini sedetikpun dalam hidupmu.

Akupun ingin memiliki cinta yang membara untuk bangsa ini seperti cinta yang tuan presiden berikan untuk negeri ini.
Akupun ingin bekerja untuk anak-anak bangsa dalam tugasku yang penuh cinta kasih seperti tuan presiden bekerja dalam tugasmu yang penuh cinta kasih.
Akupun ingin tersenyum tanpa dendam kepada orang-orang yang mencacimaki diriku seperti tuan presiden tersenyum tanpa dendam kepada mereka yang membencimu.
Akupun ingin membawa dalam doa suciku nama-nama mereka yang membenciku di hadirat Allah yang mahabesar seperti tuan presiden menyebut nama-nama mereka yang tidak mengakui karya-karyamu.
Akupun ingin memikirkan orang lain ketika orang lain sibuk memikirkan dirinya sendiri seperti yang tuan presiden buat untuk negeri ini.
Akupun ingin hidup untuk memberi dan bukan untuk diberi seperti yang tuan presiden buat untuk negeri ini.

Tuan presiden, Bapak Jokowidodo, izinkan aku belajar kebajikan dan kebijaksanaan darimu walau sudah pasti engkau akan keberatan kusebut sebagai orang bijaksan nan arif.
Tetaplah memancarkan pesona kebajikan dan kebijaksanaanmu bagi negeri ini dan bagi dunia.
Biarkanlah doa-doa sucimu dan doa-doa rakyatmu yang setia menfuatkanmu selalu untuk tetap tersenyum bagi kaum sebangsamu sendiri yang mencacimu,  menghinamu,  menfitnahmu, dan merendahkanmu.
Biarkanlah kesahajaan dan kesederhanaanmu memancar dalam keagungan bangsa ini.
Biarkanlah kerendahan hatimu menyejukkan hati yang beku karena keserakahan harta dan kuasa.
Biarkanlah cinta abadimu untuk negeri ini terukir indah dalam karya-karyamu dari Sabang sampai Merauke.
Dan biarkanlah aku tetap berguru kebajikan dan kebijaksanaanmu, Karena engkau sungguh-sungguh seorang manusia yang penuh kebajikan dan kebijaksanaan titisan nusantara jaya. Bapak Jokowidodo, terima kasih telah "hadir" bagiku sebagai sosok teladan dalam kebijaksanaan dan guru dalam kehidupan bersama. Semoga umurmu panjang dan sehat selalu. Doaku menyertaimu selalu wahai presiden kami dan guru shopie-ku. *


Makale - Tana Toraja,  Medio Sept' 2018
R. D. Yans Sulo Paganna'.
(Penulis: Toraya Tondokku Nusantara Negeriku)

Friday, July 6, 2018

GEMA ORKESTRA PANCASILA


GEMA ORKESTRA PANCASILA

 Di tengah teriknya suhu politik pada tahun politik yang sarat dengan berbagai idiom politik yang dapat menyesatkan publik, saling sindir dan jegal para politisi terhadap lawan politiknya, gemuruh viral hoaks yang mengeruhkan dunia maya; sayup-sayup terdengar gema orkestra yang melantunkan bait-bait nilai-nilai mulia bangsa, Pancasila. Dengung kemuliaan nilai-nilai bangsa berhasil menyusup di sela-sela amukan wacana publik yang hampir kehilangan kewarasannya. Kidung tersebut adalah kesepakatan dan disahkannya regulasi yang mengatur tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (selanjutnya disebut UU PTPT).
Berkat kesungguhan dan komitmen negara, pemerintah, dan DPR, dalam hitungan minggu, regulasi tersebut tidak hanya disepakati dan disahkan secara aklamasi oleh semua fraksi di DPR, termasuk fraksi ”oposisi”, tetapi juga dukungan publik dari berbagai kalangan. Ungkapan Azyumardi Azra, intelektual terkemuka yang sangat santun dan bijak, kiranya dapat mewakili suasana kebatinan publik: ”Negara sudah seharusnya bertindak lebih tegas terhadap terorisme, apalagi bagi mereka yang pernah ikut latihan berperang di NIIS, Indonesia harus lebih tegas. Selama ini Indonesia terlalu lunak menghadapi terorisme” (Kompas, Sabtu, 26 Mei 2018).
Orkestra tersebut terasa semakin merdu dan mendayu karena negara tetap membuka ruang bagi masyarakat untuk mengawal dan memberikan catatan kritis dalam pelaksanaannya. Karena itu, pada peringatan Hari Pancasila besok (Jumat, 1 Juni 2018), rakyat tidak hanya disuguhi upacara dan pekik retorika, tetapi juga karya nyata berupa regulasi yang dapat diharapkan meredam aksi teror yang telah merenggut ribuan nyawa dalam beberapa dasawarsa belakangan ini. Namun, UU PTPT, meskipun cukup komprehensif, bukan peluru perak (silver bullet), senjata ampuh, yang dapat menjadi solusi instan menyelesaikan persoalan yang rumit. Oleh karena itu, sangat diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif.
Fenomena itu membuktikan bangsa Indonesia jika bersatu mempunyai energi luar biasa yang mampu mengatasi krisis yang mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara. Sayangnya, energi itu baru menggelegak jika distimulus oleh tragedi kasatmata, seperti ledakan bom di Surabaya dan sekitarnya yang dilakukan oleh semua anggota keluarga pelaku.
Padahal, ancaman bangsa dan negara yang tidak kalah daya rusaknya adalah proses pembusukan lembaga politik dan negara akibat perilaku korup para pemutus politik dan penyelenggara negara. Namun, karena ancaman itu berkaitan dengan tingkat kenyamanan yang memabukkan, gelegak kesadaran kolektif mereka untuk memadamkan api nafsu korupsi sangat lembek.
Rakyat sangat berharap agar momentum lantunan gita orkestra Pancasila dapat dirawat mengingat agenda pemberantasan terorisme tidak dapat hanya mengandalkan UU PTPT, tetapi harus dilakukan secara menyeluruh. Untuk itu, diperlukan metanarasi (grand story) karena fenomena terorisme di Indonesia mempunyai ideologi ”konter narasi” terhadap Pancasila, bahkan menjungkirbalikkan nilai-nilai kemanusiaan.
Misalnya, pelaku teror dicekoki pemahaman, kematian itu agung. Karena itu, harus lebih memuliakan kematian daripada kehidupan. Kematian adalah seni yang indah untuk dinikmati karena merupakan jalan cepat mencapai tujuan hidup hakiki. Namun, yang juga mengkhawatirkan, mereka berhasil membentuk masyarakat alternatif dengan simbol, atribut, serta narasi-narasi yang menegaskan identitas mereka berbeda dengan lainnya. Aksioma ”kita” dan ”mereka” akan membelah masyarakat.
Banyak kajian menyimpulkan, lahirnya terorisme, meskipun multidimensi, salah satu kausa penting adalah keputusasaan yang disertai dengan jurang menganga antara harapan yang semakin meningkat dan kesempatan yang semakin menyempit. Oleh karena itu, agenda konkretnya bukan melakukan kontemplasi, melainkan harus diawali dengan keberanian melawan perilaku sektarian, diskriminatif, intoleransi, dan politik identitas.
Dalam perspektif makro, terorisme harus dilawan dengan metanarasi yang lebih dahsyat untuk mengungguli kisah yang merupakan dongeng heroisme yang menjadi keyakinan para pelaku terorisme. Selain itu, metanarasi juga sangat diperlukan bangsa Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan; serta memperjelas posisi bangsa Indonesia dalam tataran global sebagaimana diamanatkan konstitusi, melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bangsa yang tidak mempunyai metanarasi atau tidak memercayai serta menghayati metanarasinya akan linglung, bingung, dan sempoyongan menghadapi dunia yang semakin tidak menentu. Karena itu, para elite bangsa diharapkan agresif menawarkan metanarasi dengan idiom-idiom yang dapat menggerakkan bangsa mewujudkan cita-cita nasional. Momentum bahana orkestra Pancasila jangan dibiarkan menguap begitu saja. Khususnya para pemutus politik harus selalu ingat ancaman yang tidak kalah daya rusaknya selain terorisme, yakni kenyamanan eksesif yang diproduksi perilaku korup.
J KRISTIADI
 Kompas 31 Mei 2018

10 Prinsip Ajaran Sosial Gereja (ASG)



10 Prinsip Ajaran Sosial Gereja (ASG)

Gereja Katolik memiliki harta karun berupa Ajaran Sosial Gereja (ASG) yang amat kaya dan relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Secara tradisional ASG diawali dengan ensiklik Rerum Novarum dari Paus Leo XIII pada tahun 1891. Selanjutnya Bapa Suci menulis ensiklik yang secara khusus merespon situasi hidup sosia-ekonomi-politik umat, dan secara umum juga ditujukan bagi dunia. Berikut ini 10 Prinsip ASG yang saya sarikan dari kerangka kerja yang disusun William Byron (America,1998) dan Kenneth Himes (2001).

1. Prinsip Menghormati Martabat Manusia ( Respect for Human Dignity )
Setiap manusia diciptakan seturut citra Allah dan ditebus oleh Yesus Kristus. Konsekuensinya, setiap pribadi dihormati semata-mata karena merupakan pribadi yang seharusnya dihormati lantaran ciptaan Allah, bukan lantaran cacat, miskin, tua, malang, atau ras tertentu.

2. Prinsip Menghormati Kehidupan Manusia ( Respect for Human Life)
Implikasi dari prinsip pertama adalah setiap pribadi sejak dikandung hingga mati memiliki martabat dan hak hidup sesuai martabatnya sebagai ciptaan Allah. Tradisi Gereja menempatkan kekudusan hidup manusia sebagai bagian dari pandangan moral terkait masyarakat yang baik dan adil.

3. Prinsip Asosiasi/Hidup Sosial ( Association)
Manusia bukan hanya kudus tetapi juga sosial. Kita dilahirkan dalam citra dan rupa Allah, yang secara esensi adalah komunitas antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Ada tiga pribadi dalam Allah, bukan hanya satu Allah. Pada jantung karagaman pribadi Allahlah kita menemukan saripati kehidupan, bukan pemisahan. Lugasnya, kita mengalami kepenuhan sebagai pribadi ketika berelasi dengan sesama, bukan justru terisolasi.

4. Prinsip Partisipasi ( Participation)
Tiap orang punya hak, termasuk kewajiban untuk berpartisipasi dalam membentuk masyarakat yang adil, dan bersama yang lain mengupayakan kebaikan bersama, terutama bagi yang miskin papa.

5. Prinsip Keberpihakan pada Yang Miskin Papa ( Preferential Option for the Poor and Vulnerable)
Dalam masyarakat yang terbelah antara kaya dan miskin, tradisi Katolik merujuk kembali kisah penghakiman terakhir yang memerintahkan kita untuk memprioritaskan kebutuhan yang miskin papa. Inilah yang merupakan intisari praksis iman Kristen sejati.

6. Prinsip Solidaritas ( Solidarity)
Kita adalah penjaga bagi saudara-saudari kita. Praktik dasariah solidaritas adalah mengasihi tetangga kita, sanak saudara. Sebagaimana disampaikan Paus JP II, bahwa solidaritas bukanlah belarasa karena ketidakberuntungan atau kemalangan belaka, melainkan upaya sungguh-sungguh untuk berkomitmen pada sesama demi mencapai kebaikan bersama, sebagai bentuk tanggung jawab kita.

7. Prinsip Merawat Ciptaan ( Stewardship)
Kita menghormati Pencipta melalui komitmen pada ciptaan. Kita bertanggung jawab untuk merawat kebaikan dunia sebagai penjaga dan wali, bukan sekadar sebagai konsumen. Kita semua diundang untuk berproses dalam belajar menjadi penjaga ciptaan, menghargai ritme alam dan hidup agar lebih lestari, melalui dialog yang saling hormat dan meninggalkan jejak ekologis dan spiritual yang terang bagi generasi mendatang.

8. Prinsip Subsidiaritas ( Subsidiarity)
Istilah subsidiaritas berasal dari kata Latin ‘subsidium’ yang bermakna membantu atau mendukung. Prinsip ini dimaknai sebagai hak untuk membantu atau mendukung sesuai takaran yang dibutuhkan. Tidak terlampau banyak, pula tidak terlalu sedikit. Dalam politik dapat dimaknai sebagai “tidak lebih besar dari yang seharusnya (agar tak mematikan inisiatif), dan tidak lebih kecil dari yang sepantasnya (untuk tidak membiarkan keputusasaan dan frustrasi).

9. Prinsip Kesetaraan Manusia ( Human Equality)
Seluruh pribadi ciptaan wajib dihormati dan bermartabat karena diciptakan sebagai citra Allah. Konsekuensinya, secara radikal semua manusia setara. Menurut George Cladis, ‘kompetisi merupakan sesuatu yang asing di hadapan Tuhan’, atau dengan kata lain, secara kodrati manusia adalah makluk yang saling bekerja sama berdasarkan prinsip saling menghormati.

10. Prinsip Kebaikan Bersama ( Common Good)
Komunitas akan sehat ketika semua orang, bukan hanya satu atau segelintir, bertumbuh. Mengutip Dostoevski,”Tingkat peradaban masyarakat dapat dinilai dengan memasuki penjara”.  Itulah wajah dari yang terlemah. Tiap kelompok sosial harus memperhitungkan kebutuhan dan aspirasi seluruh anggota kelompok dan mengupayaka kesejahteraan seluruh keluarga. Bukan sekadar prinsip utilitarian ‘manfaat terbesar bagi jumlah terbanyak’, melainkan manfaat dan kebaikan terbesar bagi semua.

Salam hormat,

Yustinus Prastowo

Kebaikan seseorang ditentukan bukan terutama oleh kata-katanya, melainkan dari perbuatan



Kebaikan seseorang ditentukan bukan terutama oleh kata-katanya, melainkan dari perbuatan atau perilakunya. Tidak cukup mengaku “baik”, kalau perilakunya  tidak baik. Tidak cukup bilang  “sayang”, kalau tidak sungguh mengasihi secara konkrit. Tegasnya, perbuatan adalah bukti nyata dari apa yang  dikatakan. Manusia bisa saja dikibuli dengan kata-kata manis atau perbuatan munafik yang pura-pura “baik”. Tetapi TUHAN tidak akan bisa ditipu! Sebab, TUHAN  mampu melihat lubuk  hati yang terdalam di dalam hati sanubari seseorang. TUHAN mengetahui isi dan seluk beluk pikiran kita. Karena itulah dalam kotbah di bukit,  YESUS  mengingatkan para murid  dan kita semua pada zaman ini : “Bukan setiap orang yang berseru kepada-KU: TUHAN, TUHAN! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan Kehendak BAPA-KU  yang di Surga” (Mat. 7: 21). Jadi, orang yang mampu berbuat dan mengerjakan Kehendak BAPA, bukan orang yang hanya berbicara atau menyebut “TUHAN, TUHAN”  yang akan diselamatkan. Bagi YESUS, orang seperti itu sama dengan “orang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu”.  Dengan demikian, ukuran kebaikan seseorang tidak terletak apa yang diucapkan saja, melainkan apa yang dilakukannya. Orang boleh saja mengucapkan kata-kata muluk atau janji-janji indah, tetapi kalau tidak diwujudkan dalam perbuatan konkrit, maka hal itu tidak ada gunanya sama sekali!

Kadang-kadang orang mungkin mengakui  “percaya kepada ALLAH  dengan bibir”, tetapi tidak demikian dalam perbuatannya. Rasanya tidak sulit mengucapkan rumusan doa “Aku percaya”, tetapi akan sangat sulit untuk sungguh-sungguh menghidupi etika Kristiani. Sering terjadi adanya jurang yang menganga antara : perkataan dan perbuatan. ALLAH tidak bisa diperdaya oleh kata-kata yang indah atau doa yang panjang-panjang, melainkan diyakinkan oleh perbuatan-perbuatan yang nyata! Semoga Sabda TUHAN hari ini mendorong kita untuk menyatukan antara kata dan perbuatan secara konsisten dan kontinyu, sehingga kata dan perbuatan kita mencerminkan diri kita sendiri. Dan TUHAN pun mengenal kita dari buah-buah yang kita hasilkan. Khusus bagi mereka yang mempersiapkan diri sebagai pemimpin, kiranya tidak mudah untuk mengobral janji belaka!

Janganlah sampai kita seperti raja Yehuda, Yoyakim, yang memerintah selama sebelas tahun lamanya, tetapi “ia melakukan  apa yang jahat di mata TUHAN tepat seperti yang dilakukan oleh nenek moyangnya” (2Raj. 23: 37). Akibat perbuatan-perbuatan jahatnya, maka ALLAH menjadi murka, dan IA  menghukumnya melalui serangan yang dilakukan raja Babel, Nebukadnezar, ke Yerusalem. Maka raja Yoyakim beserta seluruh keluarganya dan semua isi istananya serta seluruh kekayaan Bait ALLAH diangkut  paksa ke Babel. Demikian pula seluruh perajurit dan penduduk Yerusalem dipaksa ke tempat pembuangan di Babel. Yang tinggal di Yerusalem hanya disisakan orang-orang yang miskin dan lemah. Sungguh suatu pengalaman yang sangat memilukan bagi kerajaan Yehuda dan rakyatnya (lihat Bacaan Pertama).

Lain cerita adalah Santo Ireneus (130-202), yang lahir di Asia Kecil dan berkarya sebagai imam kemudian diangkat sebagai Uskup di Lyon, Perancis. “Ireneus”  dari kata Yunani berarti “pencinta damai”. Ia seorang teolog, pengikut YESUS  yang setia dalam mengamalkan imannya kepada YESUS, bukan hanya secara teoritis melainkan terutama dengan perbuatan-perbuatan nyatanya. Dengan berani ia melawan kesesatan yang terjadi pada sekitar abad pertama dan ke dua itu, yaitu aliran gnostik yang pada dasarnya mempertentangkan secara ekstrim antara “materi” dan “roh”, serta tidak mengakui Alkitab. Berkat bimbingan rohani langsung  dari Santo Polikarpus (Uskup dan martir di Smyrna, Turki), ia berhasil memiliki iman yang sangat kuat. Keyakinannya adalah “di mana ada Gereja, di situ ada ROH KUDUS”.  Berbekal iman yang teguh dan berkat keyakinannya itu, Ireneus sebagai Uskup, menata Gereja muda di Lyon. Dengan berani ia melawan ajaran sesat, walaupun untuk itu semua taruhannya adalah nyawanya sendiri. Semoga kita semua, warga Gereja di Indonesia, dapat meneladaninya dengan memiliki spiritualitas dan iman serta keyakinan dan keberanian seperti Santo Ireneus, sehingga kita mampu menjaga kemurnian iman kita dan berani menegakkan kebenaran, keadilan, kejujuran dan mengusahakan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat kita. 


Ya YESUS, bantulah aku dalam membentuk  diriku, sehingga dapat membangunnya di atas “batu karang iman” dan keyakinan yang kokoh kepada-MU. Semoga aku tidak hanya menjadi pendengar saja melainkan terutama jadi  pelaksana Sabda-MU. Amin. 


Selamat pagi. Selamat beraktivitas. AMDG. Berkat TUHAN.
RAGI Kamis 28 Juni 2018  Peringatan Wajib Santo Ireneus, Uskup & Martir :   2Raj. 24: 8-17;  Mzm. 79: 1-2, 3-5, 8, 9; Mat. 7: 21-29.